Sebuah Ide dari Pondok Pesantren #35

Saya akan menceritakan tentang pondok pesantren yang pernah saya bersekolah di sana; yaitu SMPIP Al-Madinah Boyolali dan MA ICBB Bantul. Dua pondok pesantren ini sebenarnya sangat terkenal, namanya sudah tersoar di tingkat nasional.

Hal yang menarik dari dua pondok pesantren ini adalah pemikirannnya sangat luar biasa menurut saya; mereka berusaha untuk menerima semua orang tanpa kecuali. Berbeda dengan pondok atau pun sekolah kebanyakan yang memiliki sistem pendaftaran yang ketat, mereka dikenal sebagai pondok yang “asal menerima”. Seleksi-seleksi yang mereka lakukan sama sekali tidak ketat dan soal-soal pendaftarannya sangat mudah.

Padahal, jika melihat dari para pendiri atau istilahnya founding fathers-nya, dua pondok ini memiliki nama yang bukan main. SMPIP Al-Madinah dan MA ICBB keduanya berada di bawah yayasan yang berisi Ustadz-Ustadz salafy senior yang tidak perlu lagi diragukan kapasitas dan jaringan yang mereka miliki.

Ketika saya masih santri dulu, selalu ada anggapan di kalangan sebagian santri bahwa pondok pesantren sudah seharusnya untuk memberikan seleksi yang lebih ketat dan tidak asal menerima santri. Dengan menerima seorang santri, pondok pesantren memiliki tanggung jawab lebih untuk mengurus. Sehingga pondok pesantren tidak akan salah menerima seorang santri yang tidak cocok untuk sistem yang ada atau dengan kata lain “bandel”. Selain santri “bandel”, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah kualitas santri yang sangat jauh di bawah jika dibandingkan dengan pondok-pondok lain. Ketika pondok-pondok saingan (pesaing) memberikan standar kelulusan yang tinggi, dua pondok ini tetap saja memilih untuk memiliki standar yang biasa-biasa saja.

Kesimpulannya, “bandel” dan kualitas santri adalah kelemahan dari pondok pesantren.

Saya yang dari awal memang sangat setuju dengan pendapat bahwa pondok pesantren sudah sebaiknya tidak menghalangi siapa pun untuk belajar, saya melihat dua alasan “bandel” dan “kualitas” adalah alasan yang kurang tepat.

Sistem pendidikan di pondok pesantren sudah sebaiknya dirancang sedemikian rupa supaya semua orang mampu untuk belajar bukan untuk kalangan-kalangan tertentu. Ilmu agama adalah hak semua orang untuk tahu. Dengan mengadakan seleksi, kita tentu secara langsung mengurangi kesempatan seseorang yang ingin untuk belajar.

Entah anda adalah orang yang “bandel” atau pun tidak, anda tetap memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan agama. Dengan pondok pesantren yang menerima santri baru siapa pun dia, sebuah pondok pesantren telah melakukan tugasnya untuk menyebarkan dakwah para Nabi dan Rasul.

Untuk permasalahan kualitas atau standar kelulusan, mungkin pondok tampak kalah dengan pesaingnya tapi kita tidak hanya melihat dari kualitas yang terlihat. Bisa jadi seseorang dengan kualitas hafalan al-Qur’an lebih rendah, memiliki akhlak yang jauh lebih tinggi. Ada juga mungkin santri yang memang memiliki cita-cita untuk menjadi ahli di bidang lain dari apa yang ada menjadi standar kelulusan. Kualitas atau pun standar kelulusan yang ada bukan lah satu-satunya mengukur kehebatan seorang santri.

Saya teringat dua ucapan dari dua Ustadz. Pertama adalah Ustadz Abu Qotadah dari Ihya As-Sunnah Tasikmalaya. Dia mengatakan jika semua orang baik2 saja yang diterima di pondok pesantren, orang-orang yang nakal mau diterima di mana. Kedua adalah Ustadz Mustamin dari As-Sunnah Makassar. Dia mengatakan bahwa tidak semua santri akan menjadi orang yang duduk memberikan fatwa tetapi ada yang memiliki profesi lain.

Pada akhirnya, saya menyimpulkan bahwa sebuah sistem pendidikan sebaiknya memiliki dua hal: menerima siapa pun dan memperbaiki standar kelulusan dan kualitas untuk lebih ramah. Mungkin pada praktiknya, hal ini tidak sepenuhnya terjadi tetapi setidaknya itu adalah cita-cita dan asas untuk bertindak.


You'll only receive email when they publish something new.

More from Jing Xing #100Days Start Again
All posts