Salahkah 'Tuk Menanti?

(Artikel ini sudah dipublikasikan pada 09/02/2022)

Kulepas semua yang kuinginkan,

Tak akan kuulangi.

Maafkan jika kau kusayangi…


*warning: tidak untuk dibaca bagi yang sedang merasa lelah

Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Tiba-tiba, penggalan lagu Peterpan terdengar dari luar rumah. Suara merdu dengan iringan musik yang sendu membuatku terenyuh. Memang hanya sebuah musik singkat untuk mengetes suara musik untuk hajatan besok. Tapi rasa-rasanya semesta sedang menyinggung lubang di dalam hatiku yang masih belum tertutup juga.

Bukan, bukan hanya soal jatuh cinta yang selalu berlabuh pada orang yang tidak, atau belum tepat. Aku memang banyak melepaskan dan mengalah akhir-akhir ini. Semua hal yang aku sukai ternyata dapat berakibat buruk kepadaku di masa depan. Yah, sebenarnya butuh waktu lama sebelum aku dapat mengakui hal itu. Aku selalu merasa tidak mungkin efeknya akan seburuk itu. Tapi, percaya lah, sifat keras kepala itu pada akhirnya melukaiku terlebih dahulu.

Aku baru-baru ini menyadari sekali lagi, bahwa aku memiliki sifat dan kepribadian yang mungkin terlihat aneh bagi sebagian orang, atau mungkin terlihat sebagai celah untuk dimanfaatkan, atau mungkin terlihat sangat palsu karena menyamakanku dengan orang jahat yang pernah mereka kenal di masa lalu. Awalnya aku tidak memahami hal-hal semacam ini. Aku bukan orang yang berpikir panjang di kehidupan nyata. Aku hanya berpikir di dalam kepala, di dalam mimpi, ketika menonton, dan ketika menulis.

Aku tidak tahu bahwa orang-orang berkomunikasi dengan kode yang rumit kupahami. "Kalau ada si fulan yang menghampirimu terus-menerus, artinya dia mau caper sama kamu." Aku baru mengetahui ada orang yang berpikir seperti ini beberapa tahun yang lalu. Jujur, aku sangat tidak setuju. Aku tidak begitu peduli dengan orang lain pada saat itu. Kenapa aku harus cari perhatian dengan mereka? Aku tidak suka meminta, buat apa aku meminta perhatian mereka? Aku tahu tidak ada yang suka mendengarku bicara, jadi aku lebih suka mendengar apa yang orang lain pikir dan rasakan. Aku merasa dengan begini aku bisa berbaur dengan masyarakat. Aku sedang mencoba untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain pada saat itu--sampai sekarang masih, sih, karena aku masih takut untuk memulai pembicaraan--dengan cara menghampiri mereka dan menanyakan apa yang terjadi. Tapi ternyata aku hanya dianggap sebagai manusia caper.

Saat pertama kali mendengar prasangka orang kepadaku yang ternyata sangat jauh dari apa yang aku niatkan jauh-jauh hari, aku tersungkur ke dalam lubang yang tidak kuperhatikan seberapa dalamnya ia. Aku tidak mengerti kenapa orang-orang menuduhku tanpa pernah sekalipun bertanya langsung kepadaku. Aku tidak mengerti kenapa aku dinilai berdasarkan apa yang sudah mereka ketahui, padahal mereka belum mengenalku. Aku tidak mengerti mengapa pula aku bersusah payah melatih keahlian yang sepertinya tidak akan pernah cocok denganku ini? Ya Tuhan, kenapa aku harus belajar keras untuk berkomunikasi dengan manusia?

Tapi dari situ juga aku belajar, aku terlalu polos. Mungkin karena dari kecil aku menonton Doraemon, tanpa sadar aku menganggap semua orang di sekitarku adalah orang baik. Musuh kita bersama adalah setan dan jin yang terkutuk. Sifatku dengan Nobita anehnya memang punya banyak kesamaan. Malas, tidak suka belajar, ceroboh, penakut, lebih suka tidur siang, baca komik, bermain dengan teman, dan mengerjakan pekerjaan rumah ketika tiba di sekolah. Untuk yang terakhir, aku terpaksa mengerjakan tugas paling tidak semalam sebelum itu dikumpulkan ketika sudah beranjak cukup tua. Tetapi yang namanya sifat sangat sulit diubah, semasa kuliah pun aku masih sering kelupaan soal ini sehingga mengerjakannya sesaat sebelum kelas mulai. Aku tidak pernah beranggapan ada orang yang akan menusukku dari belakang. Aku percaya semua orang mempunyai hati yang baik dan kejahatan mereka adalah sebatas sifat buruk yang berupa aib saja. Tapi ternyata aku telah salah menilai dunia di hadapanku selama ini.

Aku sangat suka membantu orang. Nobita, meskipun bodoh, dia suka membantu siapa saja. Aku sangat, sangat menyukai sifatnya yang satu ini. Seumur hidupku aku selalu mencoba membantu orang sebisaku, kecuali jika mereka ingin meminta contekan dariku ketika ujian berlangsung. Aku tidak suka curang, dan lagi aku ngga pintar-pintar amat. Saat-saat menyenangkan dalam hidupku adalah ketika aku tahu bahwa hidupku membawa manfaat untuk orang lain yang sedang membutuhkan. Akan tetapi, aku baru tahu bahwa aku masih ingin mendapatkan timbal-balik dan validasi dari orang lain ketika membantu mereka. Aku tertegun ketika aku menyadari diriku yang satu ini. Aku kira aku akan baik-baik saja jika orang lain "memanfaatkanku" lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Aku sudah sering mengalami ini, tapi kejadian kemarin membuatku cukup sedih.

Anggap saja seorang yang aku anggap teman. Aku selalu berusaha membantunya ketika aku bisa. Aku juga selalu mengajaknya bicara meskipun aku tahu aku bukan orang yang menyenangkan. Dari tulisan balasan dia pun aku bisa merasa betapa terpaksanya ia membalas pesanku yang mirip kertas koran ketika orang yang menarik menggunakan kertas Adinata. Meskipun begitu, aku tidak terlalu memikirkan dan memedulikan tanda-tanda yang menganggu itu. Aku selalu menganggapnya teman.

Namun, seperti yang kalian tahu, dia tidak menganggapku begitu. Aku hanya satu dari banyak orang yang dia temui dan bisa dia tinggalkan ketika dia menemukan teman yang lebih baik. Aku tahu itu adalah naluri manusia. Selalu mencari yang terbaik dan meninggalkan sisa-sisanya di belakang. Aku tahu juga bahwa aku bukan teman yang sebaik itu. Aku bahkan juga tahu bahwa aku tidak pernah tahu cara mempertahankan hubungan dengan sesama manusia sampai detik ini. Tapi tetap saja aku merasa kecewa. Sekali lagi aku merasa aku tidak cocok dengan manusia.

Semasa sekolah, aku selalu mendapatkan angket sebagai orang yang paling pendiam. Atau diam-diam menghanyutkan. Atau istilah lain yang ngga jauh-jauh amat. Aku pernah mencoba mengajak berkenalan anak perempuan yang sepertinya lebih pendiam daripada diriku pada kelas 2 SD. Aku teringat dia melihatku dengan tatapan takut seakan aku adalah serigala yang sedang menyamar untuk mengincar domba. Aku menyerah untuk mencoba memulai obrolan sejak saat itu. Selalu saja orang lain yang pertama menyapaku. Kecuali jika aku membutuhkan bantuan mereka, aku tidak akan menghampiri mereka seperti yang biasanya anak sekolah lain lakukan. Apakah aku merasa aneh? Tidak juga. Aku merasa nyaman. Aku masih bisa bermain dengan ketiga tetanggaku yang berbaik hati mengajakku setiap mereka main pada malam Minggu. Aku juga lebih suka membaca komik Doraemon, Majalah Bobo, dan koran Kompas. Saat itu, aku merasa baik-baik saja.

Beranjak dewasa, aku benar-benar tidak pernah menemukan orang yang sependiam diriku di dalam satu ruangan yang sama. Atau yang ke mana-mana lebih sering sendiri daripada meminta teman lain untuk menemani. Tentu, aku bersyukur banyak orang yang sepertinya memahami sifatku yang entah kenapa selalu terlihat mencolok di ruangan yang ramai. Mereka menyapaku, tersenyum padaku, bahkan mengajakku berbicara meskipun tahu responku sangat membosankan. Mereka adalah orang-orang baik meskipun pendapat dan kesukaan mereka berbeda jauh denganku. Tanpa orang-orang baik seperti mereka, mungkin aku akan merasa kesepian seumur hidup. Paling tidak, aku hanya merasa kesepian di saat-saat tertentu saja untuk saat ini.

Aku menyadari, manusia bukan makhluk yang sempurna. Aku tidak boleh mengharapkan sesuatu hal dari manusia. Aku tidak boleh bergantung pada manusia. Entah kenapa, aku merasa kecewa pada hal-hal yang telah kusebutkan sebelumnya. Padahal aku bisa saja mencari teman ngobrol yang baru. Aku bisa mencoba mengirim pesan kepada salah satu kontakku di Whatsapp. Entah bagaimana, rasanya sulit dan melelahkan bahkan ketika aku baru mulai memikirkan hal itu. Aku lebih nyaman sendirian, tapi aku tahu aku tidak bisa hidup sendiri. Aku mencemaskan masa depanku yang masih tidak terlihat arahnya ini, tapi aku kesulitan untuk menghadapinya karena rasa takut yang berkumpul memenuhi kepalaku.

Setelah aku menuliskan celotehan penuh omong kosong ini, aku merasa mungkin kamu akan merasa bahwa masalahku sangat sepele. Sebenarnya dengan beberapa langkah mungkin aku bisa merubah pandangan orang lain kepadaku. Tunggu, sejak kapan aku peduli dengan pandangan orang lain? Jujur saja, aku merasakan banyak tekanan agar aku hidup sesuai dengan ekspektasi orang-orang di sekitarku. Aku bisa merasa banyak orang kecewa dengan pilihan-pilihan yang kubuat setiap harinya. Lantas aku harus bagaimana? Aku pun bersusah payah untuk bertahan sampai saat ini. Aku berusaha untuk tidak menambah beban pada bahu orang-orang. Aku berusaha menyimpan semuanya. Tetapi hatiku terlanjur berlubang dan sangat sulit untuk berpura-pura bahwa aku sedang baik-baik saja. Bahwa aku dapat berpikir positif setiap detik. Bahwa aku tidak pernah merasa tidak sendirian.

Semuanya dapat aku singkat menjadi, "Aku hanya sedang lelah, untuk saat ini."

Sampai jumpa.


You'll only receive email when they publish something new.

More from Kim Lobak
All posts