Sanksi Pembatasan Medsos oleh Barat

Per tanggal 27 Februari 2022, media sosial ternama dari Barat seperti Meta (Facebook), Youtube, dan Instagram sudah melakukan ban atau pembatasan terhadap pengguna layanan mereka yang berasal dari Rusia, khususnya outlet berita.1 Metode ban yang dimaksud adalah membuat penyebaran konten tidak bisa dilakukan dari akun tersebut. Akun itu bisa saja dihapus, atau masih ada namun tidak dapat dipakai. Di Youtube, pengguna dari Rusia masih bisa mengunggah video, tetapi mereka tidak bisa mendapatkan penghasilan dari iklan. Di Instagram memang belum ada pengumuman resmi, namun akun Kadyrov (pemimpin Chechen) sudah diban.2 Saya menilai sanksi ini sedikit keterlaluan, tidak manusiawi bagi rakyat Rusia, dan mencoreng arti hak kebebasan untuk bersuara yang sering digaungkan oleh Barat.


Sanksi mulai diberikan tak lama setelah Zelensky, Presiden Ukraina, menolak untuk melakukan negosiasi dengan Rusia. Layanan media sosial seperti Meta pun melakukan ban terhadap media Rusia. Hal ini menyebabkan berita yang ditulis oleh media Rusia tidak dapat dibaca dari Meta (Facebook). Tak terbayangkan betapa terpusatnya berita tentang Perang Ukraina dan Rusia yang hanya berasal dari media Barat dan sekutunya. Semua media memberitakan hal yang sama persis. Padahal dalam perang, kebenaran itu sangat mahal. Kedua belah pihak memiliki sudut pandang tersendiri yang patut diamati agar dapat dijadikan perbandingan, mana yang benar dan mana yang karangan. Setelah semua berakhir, sejarah akan ditulis oleh pemenang. Langkah yang dibuat oleh media sosial Barat seakan mengatakan bahwa pemenang perang ini, tak lain dan tak bukan sudah ditentukan, adalah Barat.

Rakyat biasa Rusia yang mengandalkan penghasilan hidup dari konten mereka di Youtube tentu akan kesulitan setelah mendengar kebijakan Youtube malam tadi pada waktu setempat. Mereka masih bisa mengunggah video, namun tidak akan mendapatkan insentif sama sekali. Jika mereka punya laman donasi seperti Patreon (layanan penghimpun dana dukungan yang mirip Saweria) mungkin tidak akan begitu kelabakan. Namun bagi yang tidak punya banyak pelanggan setia, insentif dari iklan Youtube mungkin akan berjumlah jauh lebih banyak daripada donasi sukarela dari penonton. Hal ini mungkin terdengar remeh bagi kita, apalagi pekerjaan pencipta konten sebagian besar diisi oleh anak muda. Budaya Youtube di Rusia dan Indonesia memiliki sedikit perbedaan. Di akun Youtuber Rusia sendiri, ada banyak kolom komentar yang ramai dan interaktif meskipun jumlah pelanggannya belum sampai ratusan ribu. Berdasarkan pengamatan pribadi, netizen Rusia di Youtube sering meninggalkan komentar dukungan setelah menonton konten yang mereka anggap menarik ataupun membantu-- tanpa melihat jumlah pelanggan (subscriber). Komentar itu ada yang sesederhana menyatakan “Keren!”, namun lebih banyak yang mengucapkan salam, menyampaikan terima kasih, mengatakan konten mereka keren dan membantu, serta menyatakan hasrat ingin menunggu konten lainnya dari sang pencipta konten. Sangat mudah menjalin rasa kedekatan dengan cara ini, serta akan menguntungkan bagi pencipta konten untuk jangka panjang. Makanya saya menilai, keputusan Youtube untuk menghentikan iklan di konten unggahan pengguna seakan membawa petaka lain bagi rakyat biasa Rusia.

Amandemen pertama konstitusi dari Barat (Amerika Serikat) adalah perlindungan kebebasan untuk berpendapat.3 Jika hak ini dilanggar maka akan mendapatkan hukuman yang berat. Kira-kira seperti itu penerapannya dalam konteks media sosial. Namun belum lama ini dan tiba-tiba, Barat mengumumkan sanksi pembatasan untuk penggunaan medsos-- khususnya bagi media Rusia. Sanksi pembatasan ini seperti pedang bermata dua bagi Barat. Mereka ingin hanya propaganda Barat yang menyebar ke seluruh dunia; tetapi mereka juga seperti mengatakan kepada para pengguna layanan mereka dari seluruh dunia, "Jika saya mau, kapan pun itu saya akan dapat mengatur dan menghambat kebebasan bersuara kalian." Hal ini sungguh terdengar seperti ancaman agar negara lain tidak ikut-ikutan Rusia.

Sanksi pembatasan medsos oleh Barat juga menimbulkan alarm peringatan bagi diri saya sendiri. Hampir seluruh layanan internet yang saya gunakan berasal dari Barat. Tidak dipungkiri, Barat memiliki banyak layanan yang mudah digunakan dan terjangkau bagi semua khalayak. Namun, saya tidak ingin di masa depan kebebasan saya diambil semena-mena oleh Barat seperti itu. Saya bukan ahli kenegaraan apalagi ahli politik; saya hanya mendapatkan insting buruk setelah membaca berita tersebut. Tingkat Indonesia memang ada di bawah Rusia dan kecil kemungkinan melakukan hal yang sama seperti Rusia, namun justru itu lah yang membuat saya khawatir; Indonesia akan merugi jika mendapatkan sanksi serupa--entah karena masalah apa nanti di masa depan, kita tidak bisa menebak Barat. Indonesia tidak memiliki layanan medsos sendiri seperti Rusia yang punya VKontakte dan Live Journal. Setahu saya baru Kompasiana yang mirip dengan Live Journal (namun ada pengawasan), Kaskus mirip dengan Reddit; tapi tampaknya penggunaannya masih terbatas pada segmen masyarakat tertentu. Pengguna Facebook dan WhatsApp yang mencapai ratusan juta apakah mungkin dapat pindah platform bikinan Indonesia jika suatu hari kedua layanan itu dibatasi? Jika suatu hari kita terlibat ribut-ribut, hancur lah penyebaran berita kita ketika kita masih bersandar pada media sosial buatan negara lain. Saya sendiri membayangkan jika hal itu amit-amit benar terjadi, mungkin saya tidak akan dapat menggunakan layanan internet yang saya sukai karena berasal dari Barat semua.

Meski begitu, saya masih belum menemukan platform menulis di Indonesia yang memberi kebebasan berpendapat seperti Blogger dan Listed.to. Saya memeriksa syarat dan kebijakan Kompasiana, memang bagus peraturannya, namun menurut saya terlalu mengatur. Saya bahkan tidak berani merilis tulisan ini di sana karena takut dianggap menyebarkan ujaran kebencian. Percaya lah, saya hanya sedang panik sekaligus kecewa ketika memerhatikan keadaan kedua belah pihak yang sedang berperang saat ini.

Sanksi pembatasan media sosial oleh Barat tampaknya akan menimbulkan banyak efek samping di masa depan. Saya mengira mungkin negara-negara lain yang belum punya platform sendiri akan segera meluncurkan media sosial untuk warga mereka. Sejauh ini saya baru mengetahui ketiga negara Asia Timur yang semuanya memiliki layanan blog sendiri. Bahkan China dan Korea Selatan memiliki mesin pencari dan database sendiri. China juga punya banyak layanan mikro-blog dan layanan berbagi video. Di Rusia ada Yandex yang hampir seperti Google. VKontakte juga banyak digunakan di sana, mirip fungsinya dengan Facebook. Untuk negara lain saya kurang paham. Mungkin ada, namun terbatas gaungnya untuk warga setempat. Saya harap Indonesia dapat belajar dari hal ini dan membuat alternatif layanan internet sendiri. Dengan begini data orang kita juga tidak akan dijual sembarangan oleh penyedia layanan luar negeri. Dan orang-orang paranoid seperti saya akan tetap dapat menggunakan layanan internet tanpa terganggu dengan kepentingan pihak luar.


You'll only receive email when they publish something new.

More from Kim Lobak
All posts