Sunday, Oct 19, 2025 at 10:08 PM
October 19, 2025•873 words
H-1
Sehari sebelumnya, rumah kami dipenuhi suara tawa dan obrolan ringan. Namun di balik canda itu, terselip kekhawatiran. Ibu, yang sudah memasuki usia rawan untuk melahirkan, sesekali menundukkan kepala, menahan rasa cemas. Bapak dan kakak-kakakku saling bertukar pandang, berharap semuanya akan berjalan lancar.
....
Adzan subuh berkumandang. Di kamar yang masih remang, seorang wanita duduk sambil menarik napas cepat, berusaha menenangkan dirinya. Perutnya yang membesar membuat setiap tarikan napas terasa berat, namun ia mencoba tetap nyaman.
Di sampingnya, bapak masih terlelap hingga sentuhan hangat membangunkannya.
“Mas, sudah adzan… subuhan dulu,” lirih ibu sambil menepuk pipi bapak perlahan.
Bapak membuka mata, menyesuaikan dengan cahaya lampu yang menyilaukan.
“Iya, dik. Bapak ke kamar mandi dulu ya,” ucapnya pelan.
Ibu tersenyum tipis saat mengelus perutnya yang sudah membesar. Sebuah tendangan kecil dari dalam membuatnya menahan rasa tegang.
“Hari ini kah, sayang?” bisiknya lembut.
Bapak mendekat, tersenyum hangat, lalu mencium kening ibu, turun ke pipi, dan terakhir ke perutnya.
“Sudah siap, dik?” tanyanya lembut.
Pagi itu berjalan pelan namun terasa berat. Setelah subuh, ibu mulai merasakan nyeri di bagian bawah perutnya. Napasnya semakin pendek. Anak-anaknya yang sudah bangun saling pandang, panik namun mencoba tenang.
“Mas, kita ke rumah sakit aja, ya,” ucap ibu dengan nada bergetar.
Tanpa banyak bicara, bapak segera bersiap. Mobil keluarga pun melaju menuju salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Di kursi belakang, ibu berbaring dengan mata terpejam, menahan kontraksi yang datang lebih sering. Di sisinya duduk anak kedua, ketiga, keempat, dan seorang cucu yang ada dipangkuan anak keduanya, tenang namun samar terdengar ocehan dan tawa kecil yang menghibur.
Ibu tersenyum,
mengingat beberapa bulan lalu, tepat sebelum mengetahui berita baik ini,
Di ruang IGD, dokter yang memeriksa sempat tertegun melihat hasil pemeriksaan.
“Ini yang hamil… ibunya atau anaknya?” ujarnya sambil tersenyum heran.
Semua yang ada di ruangan itu ikut tertawa kecil, mencoba mencairkan ketegangan.
.
Namun di balik senyum itu, ada rasa cemas yang dalam. Ibu sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, dan setiap detik terasa seperti pertaruhan.
Beberapa jam kemudian, ruang operasi menjadi saksi perjuangannya. Cahaya putih menyilaukan, suara alat medis berdenting pelan. Nafas ibu terengah, tangannya dingin, tapi matanya masih menyiratkan keyakinan.
“Bu, tahan sebentar lagi, ya…” suara dokter terdengar tegas tapi menenangkan.
Bapak menunggu di luar ruang operasi, menunduk dalam doa. Jari-jarinya saling mengait, bergetar menahan cemas. Anak-anaknya berdiri di samping, masing-masing dengan doa yang sama... semoga ibu dan bayi selamat.
Lalu suara tangis kecil terdengar dari balik pintu. Suara yang menghapus semua rasa takut dan khawatir. Bapak menegakkan tubuhnya, air mata menetes tanpa disadari.
Di dalam ruangan, ibu tersenyum lemah. “Dia lahir, Mas…” bisiknya, sebelum matanya perlahan terpejam karena lelah.
Suara tangis itu akhirnya memenuhi ruang operasi, menggema lembut seperti kabar bahagia yang lama dinanti. Seorang bayi perempuan lahir ke dunia... mungil, wajahnya kemerahan, tapi tangisnya lantang dan penuh tenaga.
Para perawat saling menatap lega. “Prematur, tapi beratnya normal. Bayinya kuat,” ucap salah satu dari mereka sambil tersenyum kecil.
Bapak berdiri diam. Matanya berkaca-kaca saat melihat tubuh mungil itu dibersihkan dan dibungkus selimut bayi. Ia sempat menunduk, menatap kedua tangannya yang masih bergetar, seolah tak percaya bahwa Tuhan masih mempercayakan satu kehidupan baru untuk keluarga kecilnya.
Beberapa menit kemudian, bayi itu dibawa ke ruang perawatan khusus. Meskipun lahir prematur, tubuhnya tampak sehat. Hanya saja, untuk berjaga-jaga, ia harus tidur di inkubator selama beberapa hari. Suhu tubuhnya dijaga tetap hangat, napasnya dipantau setiap saat, dan di luar kaca, wajah-wajah yang mencintainya silih berganti menatap dengan doa yang tak putus.
Ibu yang masih lemah di ranjang hanya bisa tersenyum ketika perawat menunjukkan foto kecil bayinya. “Alhamdulillah… sehat ya, Mas?” tanyanya pelan.
Bapak mengangguk, suaranya serak menahan haru. “Sehat, Dik. Kuat, seperti ibunya.”
Hari-hari pertama itu terasa panjang. Setiap pagi, bapak datang membawa doa dan rasa syukur yang sama. Anak-anaknya, yang kini telah menjadi kakak... ikut bergantian menatap melalui kaca ruang bayi, menyapa adik kecil yang baru datang di usia senja ibunya.
Bayi itu tidur tenang di balik dinding kaca, di bawah cahaya hangat inkubator. Seolah Tuhan sendiri yang menjaga setiap hembus napasnya.
Beberapa hari setelah kelahiran, kondisi ibu mulai membaik. Wajahnya masih pucat, tapi senyum itu tak pernah hilang. Di sudut kamar perawatan, bapak duduk setia, sesekali menatap foto kecil bayi mereka yang masih berada di ruang inkubator.
Siang itu, pintu kamar perlahan terbuka. Seorang dokter masuk dengan langkah ringan, membawa clipboard dan senyum ramah di wajahnya.
“Bagaimana, Bu? Sudah agak enakan?” tanyanya sambil memeriksa perlahan.
Ibu mengangguk pelan. “Alhamdulillah, Dok. Capek sedikit, tapi lega…” jawabnya lembut.
Dokter itu menatap bayi mungil di pelukan suster, senyumnya tulus.
“Ini anak emas, Bu. Kasih nama yang bagus, ya. Kalau boleh, saya sarankan namanya Aurel. Anak ini seperti emas, berharga sekali. Apalagi lahir di rumah sakit Angkatan Udara Republik Indonesia—AURI,” katanya sambil tertawa kecil.
Bapak menatap bayi itu lama, matanya berkaca-kaca. Lalu ia menoleh pada Ibu dan menjawab dengan suara pelan,
“Namanya Aurelita Pangestu Oktavia.”
Dokter dan Ibu tersenyum bersamaan.
Bapak melanjutkan, nadanya tenang tapi sarat makna,
“Aurelita, artinya cahaya emas, anak yang berharga.
Pangestu, karena dia lahir dengan selamat, anugerah dari Tuhan.
Dan Oktavia, sebab dia datang di bulan Oktober—bulan penuh berkat bagi kita.”
Ibu memeluk bayinya erat, seolah tak ingin melepaskannya.
Malam itu, udara rumah sakit terasa hangat.
Bukan karena lampu, tapi karena cinta yang diam-diam memenuhi ruangan itu.