Ngobrolin "The Last Princess"

(Artikel ini sudah dipublikasikan pada 06/02/2022)

"Siapa yang dapat mengerti kesedihannya?"


Ah, betul juga kata Kim Janghan. Bagaimana kita dapat memahami kesedihan seorang Putri terakhir dari Kerajaan Korea, Yi Deokhye, yang mengalami rentetan penderitaan semasa penjajahan Jepang di Korea? Sementara banyak dari kita yang tidak pernah merasakan beratnya mahkota anggota kerajaan di masa perang.

Putri Deokhye habiskan masa remaja hingga dewasa dengan kondisi pelik antara keluarga atau rakyat. Putri Deokhye dikirimkan ke Jepang untuk bersekolah atas permintaan Kekaisaran Jepang. Tetapi tahun demi tahun berlalu, Putri Deokhye yang sudah lulus justru ditahan di Jepang. Janji palsu Jepang untuk memulangkannya ke Korea tidak pernah terjadi. Putri Deokhye digunakan sebagai boneka untuk memperlihatkan persetujuan Korea dengan apa yang dilakukan Jepang saat itu.

Saat Putri Deokhye punya kesempatan untuk pulang, dia harus membayarnya dengan penindasan atas rakyatnya sendiri. Aku yakin pasti sangat sulit memilih keluarga atau rakyat pada saat dia berdiri di depan rakyat yang tampak menderita. Tetapi, Putri Deokhye masih memiliki perasaan malu. Dia mengorbankan kesempatan terakhirnya untuk bertemu ibunda, Selir Yang, di Korea. "Musim semi nanti akan datang kembali ke tanah kita. Tetap lah kuat demi orang-orang yang menunggu kita di sana," kurang lebih begitu ucapannya yang membuat marah pihak Jepang.

Pemuda Korea yang berada di Jepang tidak pernah duduk santai. Mereka berencana untuk membawa Putri Deokhye kembali ke Korea. Tetapi naas, rencana kabur yang dipersiapkan mereka akhirnya menemui kegagalan setelah memakan banyak nyawa. Putri Deokhye terpaksa menikahi pria Jepang atas perintah Kekaisaran Jepang. Sudah jelas, tidak ada rasa cinta dalam dirinya pada pria itu. Tetapi di film ini, pria Jepang itu, Seo Takeyuki, terlihat sabar dan maklum dengan kondisi Putri Deokhye. Dia tidak pernah meninggalkan Putri Deokhye.

Ketika Jepang sudah menyerah, Putri Deokhye membawa anaknya, Seo Masae, atau Yi Junghye untuk pergi ke Korea. Putri Deokhye sama sekali tidak memedulikan suaminya yang masih ikut di barisan militer. Sayangnya, Putri Deokhye dilarang memasuki Korea karena takut Korea kembali ke kondisi semula. Aku kurang mengerti di bagian ini. Tapi sungguh, ini adalah sebuah ironi. Bagiamanapun juga Putri Deokhye masih orang Korea.

Putri Deokhye menjadi stress dan masuk ke rumah sakit jiwa. Sedangkan putrinya, Junghye, bunuh diri setahun setelah Putri Deokhye dan Seo Takeyuki resmi bercerai.

Mengalami kegagalan demi kegagalan mungkin menjadi salah satu penyebab Putri Deokhye mengalami tekanan yang luar biasa. Orang-orang yang biasa mendukungnya pun tidak ada di sampingnya kala itu. Sebenarnya aku sempat berpikiran sama dengan salah satu tokoh. "Mengapa Putri Deokhye hidup seperti ini? Dia bisa saja melupakan semuanya lalu hidup bahagia..." lalu Kim Janghan menjawab, "Siapa yang dapat memahami kesedihannya?" Seketika otakku berhenti bicara.

Benar. Apa yang kulihat di film hanya lah sebagian hal, tidak kurang dari dua jam. Sedangkan Putri Deokhye mengalami penderitaan itu hampir dalam seumur hidup beliau. Cerita yang disampaikan adalah inti-intinya saja. Aku tidak akan pernah tahu hal-hal kecil yang membuatnya menangis, berpikir, merenung, takut, kesal, marah, bahagia, dan segala macam perasaan yang mungkin ia rasakan. Dia juga sudah mencoba untuk hidup normal dengan memiliki anak bersama orang yang tidak dia cintai. Ketika aku teringat melihatnya merasa malu di depan rakyatnya saja sudah membuatku terenyuh. Tapi dia masih sempat berpikir untuk membangun sekolah bagi pekerja paksa Korea di sana. Tak hanya berpikir, dia juga mewujudkannya. Padahal saat itu dia sangat ingin kembali pulang untuk bertemu ibunya.

Melihat Putri Deokhye yang akhirnya dapat kembali ke Korea berkat usaha Kim Janghan membuatku lega. Setidaknya dia dapat memeluk udara yang dahulu ia hirup bersama keluarga dan dayang-dayang kerajaan. Namun tetap saja, andai kata kepulangannya tidak dilarang. Betapa pilu kala aku kembali terbayang bahwa kehidupan Putri Deokhye tidak seharusnya berakhir seperti itu.

Ini lah kenapa aku sangat tidak suka membaca dan melihat hal-hal berkaitan dengan perang dunia. Aku pernah membaca buku tentang cerita para wanita yang terlibat dalam perang dunia kedua di Uni Soviet yang dikumpulkan pemenang Nobel Sastra tahun 2015, Svetlana Alexievich, "The Unwomanly Face of War". Novel ini agak membuatku trauma dan mungkin tidak bisa dibaca bagi yang tidak bermental kuat. Bayangkan membaca pengalaman wanita yang melihat perang di depan wajahnya di setiap halaman. Aku tidak sanggup menampung semua kesedihan yang tertulis itu. Putri Deokhye, meskipun dia terlihat memiliki kekuasaan, dia juga termasuk dalam korban. Ketika kamu seharusnya dapat melindungi rakyat, justru kamu lah yang dikendalikan dan dibuat menjadi tak berdaya. Betapa frustrasinya keadaan itu, sampai saat ini aku tidak dapat sepenuhnya memahami perasaan Putri Deokhye.

Semoga tidak perlu lagi ada yang namanya perang di dunia ini. Bolehkan aku sekali-kali bersifat naif begini? Sehat-sehat, ya, kalian semua. Sampai jumpa!


You'll only receive email when they publish something new.

More from KIM
All posts