Mengatasi Penyakit Medsos

(Artikel ini sudah dipublikasikan pada 04/02/2022)

Niat awal cuma mau buka Twitter 5 menit, eh keterusan sampai 5 jam. Bisa ngga sih penyakit ini diatasi?


Apa sih penyakit medsos (versiku) itu?

Adakah dari kalian yang mengalami kesulitan berdamai dengan diri sendiri yang selalu kelamaan menyelam di medsos? Sama halnya seperti menyelam di air, menyelam di medsos melebihi batas waktu wajar dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh. Entah itu mata yang tiba-tiba jadi suka kering, jempol yang keram dan sakit digerakkan, hingga leher yang hampir putus karena kelamaan menunduk. Belum selesai, kesehatan mental juga memiliki risiko yang mungkin saja lebih besar. Terlibat pertengkaran karena pendapat yang berbeda, menerima kata-kata cercaan yang kelewat kasar, ketakutan ketinggalan berita terbaru, hingga ketagihan julid orang yang tidak kita kenal sama sekali hanya karena merasa itu menyenangkan.

Jika sudah menjadi kebiasaan, sehari rasanya terasa hambar jika aplikasi medsos tidak kita buka. Terasa luar biasa melihat pendapat kita yang tampak pintar dan seksi ketimbang cuitan orang yang tampaknya tidak pernah baca koran. Belum lagi jika sudah ada yang menekan tombol 'sukai' di komentar kita. Tanpa sadar, kita ketagihan untuk memberi komentar pada semua hal. Bahkan pada hal-hal yang sebenarnya ngga kita paham-paham amat.

"Bermodal lihat komentar orang lain harusnya sudah paham dong?" Begitu kata otak kita yang tidak suka bersusah payah; menolak untuk mencari data yang lebih luas dan bervariasi biasnya, lalu memilah-milih yang sesuai dengan nilai yang kita anut. Selamat, dalam tahap ini kita berhasil disetir oleh pemikiran orang banyak. Ketika melihat pendapat yang berbeda dari orang kebanyakan, spontan kita menghadiahi mereka bogem mentah dalam bentuk kata-kata yang penuh emosi. Atau, mungkin saja kita lah pihak yang punya pendapat berbeda itu, tapi nyali kita terlanjur ciut duluan.

Apakah hal ini selalu terjadi ketika manusia berkumpul? Kenapa hanya sering terlihat di medsos? Mengapa di ruang lingkup kehidupan nyata, pemandangan yang paling mirip dengan keadaan medsos di atas adalah tawuran anak remaja yang berseragam? Bukankah banyak juga orang dewasa yang kecanduan main medsos? Apakah orang dewasa melakukan tawuran dengan kalem sehingga tidak pernah masuk berita? Atau mungkinkah main medsos sama dengan ikutan demo daring?

Memahami gejala penyakit medsos

Sesuatu yang berlebihan itu tidak pernah baik. Main medsos juga tidak terkecuali. Bukan hanya kamu, yang mungkin saja terinfeksi penyakit ini tanpa sadar, aku pun juga punya penyakit yang sama. Entah apa yang terjadi pada otakku, aku menjadi pribadi yang mudah penasaran dengan pendapat orang lain. Ketika aku sedang kepikiran sesuatu, katakan lah, "Paket murah 3 (Tri) apa ya?" Tanpa basa-basi, aku segera mencari di Twitter dengan kata kunci 'paket 3 murah'. Gulir dan gulir ke bawah, aku melihat cuitan maupun komentar yang memuat kata kunci itu.

Ketika sudah mendapatkan jawaban, apa aku berhenti sampai di situ? Jawabannya bisa ya, tapi seringnya sih, tidak. Kadang aku tidak sengaja buka Youtube, lalu melihat-lihat judul video yang ada di beranda. Lalu jika ada video yang menarik, aku akan menekan video itu, tapi langsung aku jeda bahkan sebelum iklan terputar. Lho, kenapa? Soalnya aku mau lihat dulu komentar teratas untuk video itu. Lalu aku melihat setiap balasan untuk komentar-komentar itu. Tak jarang aku menemukan perdebatan sengit, tapi aku justru dengan sabar membacanya satu per satu sambil ikut memikirkan komentar yang pas. Meskipun begitu, pada akhirnya aku menahan diri untuk berkomentar karena sudah merasa lelah duluan melihat debat yang tak kunjung usai.

Mungkin skenario di atas tidak terlihat begitu buruk. Ya, karena sekarang durasiku di medsos sudah jauh berkurang dibanding beberapa bulan lalu. Entah apa yang aku lakukan hampir 12 jam lebih dengan ponselku kala itu. Aku tidak begitu ingat kegiatanku di internet, tapi aku ingat statistik waktu penggunaan aplikasi di sana. Aplikasi yang paling banyak penggunaannya selalu aplikasi media sosial.

Lalu, bagaimana cara mengatasi penyakit medsos?

Tadi pagi buta, aku tidak sengaja melihat postingan komunitas terbaru dari kanal Youtube "What I've Learned":

(Credit: What I've Learned)

Terjemahan bahasa Indonesia-nya kurang lebih seperti ini:

Kemauan keras (=tekad yang kuat) itu untuk pecundang

"Aku tidak bisa makan itu" ------------------ Aku tidak mau makan itu”

Tidak butuh kemauan keras --------------- Butuh tekad yang kuat

(gambar toples yang dapat dikunci ---- Kue gratis!

dan hanya bisa dibuka pada waktu

yang sudah disetel sebelumnya)

Semenjak pemahaman psikologi atas KEMAUAN KERAS (=tekad) berkembang, ada beberapa perdebatan apakah tekad itu seperti sebuah otot yang bisa kamu perkuat atau seperti sumber daya terbatas yang hanya bisa digunakan seperlunya dalam sehari.

Dalam kasus apapun, penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang tampak memiliki tekad yang paling kuat dan lebih sukses dengan upaya mereka sebenarnya hanya mengatur lingkungan mereka agar tidak perlu menggunakan tekad. Kamu tidak perlu kertas penelitian untuk paham bahwa lebih mudah untuk tidak makan kue yang tidak kamu punya, dibandingkan dengan menolak makan kue yang kamu punya. Jauh lebih mudah untuk tidak menggulir layar Instagram tanpa tujuan jika ponsel kamu terkunci di dalam toples yang tidak bisa kamu buka selama 2 jam. (fin.)

Menurut gambar itu, ilmuwan menemukan bahwa justru lebih mudah untuk menghilangkan sebab ketimbang menahan diri dalam melakukan sesuatu. Di penjelasan itu dikatakan lebih mudah untuk tidak makan kue yang memang tidak kita punya sejak awal. Menahan diri untuk tidak memakan kue yang sudah kita beli justru lebih sulit. Lebih mudah tidak menggunakan ponsel yang ditaruh di dalam toples pengunci dengan batas waktu dibanding membiarkan ponsel tergeletak di samping kita. Aku sendiri mengalami untuk contoh kue. Kalau tidak ada kue, ya sudah aku makan nasi lauk saja. Kalau ada kue, pasti akan aku habiskan saat itu walaupun tadinya sudah berjanji ala ala agar menghabiskannya nanti. Lantas, contoh dalam penggunaan medsos bagaimana?

Dari pengamatan pribadi atas diri sendiri yang sangat mungkin mengandung bias, aku mengalami kemudahan untuk tidak menggunakan Twitter setelah menghapus aplikasi itu dari ponsel. Aku hanya membuka Opera GX, membuka akun pengguna Twitter yang aku suka pantau, lalu melakukan pencarian di kolom yang tersedia. Soalnya hanya fungsi pencarian saja yang bisa aku lakukan di situs web Twitter. Jika aku mau kepo dengan linimasa orang lain, Twitter menyuruhku untuk login atau masuk. Tapi aku tidak pernah melakukannya karena takut akunku rusak (mungkin kalian familiar dengan istilah burjek?). Aku hanya membuka Twitter dari laptop, dan jujur saja, rasanya malas untuk berselancar di medsos dengan benda berat itu. Jadi aku sangat jarang buka Twitter tanpa tujuan jelas. Makanya, meskipun aku masih terjebak dalam lingkaran itu, tidak pernah sampai 12 jam lagi, melainkan hanya 1-2 jam. Ya, seingatku sih, belakangan ini durasinya memang hanya segitu. (Kok aku jadi meragukan ingatan sendiri, ya?)

Selain menghapus aplikasi medsos, aku juga belum isi pulsa internet. Mungkin sudah sekitar 5 hari, aku mengalami krisis kuota. Terpaksa dan mau tak mau, aku tidak punya akses internet kecuali orang rumah sudah pulang bekerja. Jadi sekitar delapan jam aku tidak main internet, ditambah waktu tidur, kira-kira dalam sehari aku tidak tersambung ke internet hampir 13-16 jam. Dalam sisa waktu 8-11 jam itu pun, tentu aku tidak seratus persen menggunakannya untuk akses internet. Ibadah, makan, minum, memenuhi panggilan alam di kamar mandi, pekerjaan rumah, olahraga, membuat tulisan seperti ini, menonton variety show atau film Korea atau ceramah di tv, dan sesekali belanja ke toko dengan jalan kaki juga butuh waktu yang tidak sedikit.

Apa aku sudah merasakan perubahan yang signifikan?

Sejak awal November, seperti yang kutulis sedikit dari tulisanku sebelumnya, aku memang sudah bertekad mengurangi medsos. Alhamdulillah, dengan izin Allah aku sudah merasa sedikit lebih tenang dalam kehidupan sehari-hari. Aku jadi lebih sensitif dengan ruang-ruang di sekitarku. Entah itu bunyi air hujan yang menabrak seng, petir yang bergeledek kencang setelah cahayanya masuk, derasnya aliran air sungai, angin dingin yang membelai pipi, bunyi langkah di atap yang tidak jelas siapa pelakunya, raungan kucing tengah malam, bunyi tokek di gudang, hingga melihat berbagai jenis semut pekerja yang tidak pernah tidur. Sebelumnya aku selalu merasa berat di dada. Bukan sesak yang disebabkan asma, tapi sesak yang seakan ada tali tambang tak terlihat sedang melilit sekujur tubuhku. Cemas berlebihan, takut tanpa sebab jelas, bahkan pernah juga aku merasa paranoid. Rasanya tidak ada orang yang bisa kupercaya. Kadang juga aku menitikkan air mata melihat cuitan orang-orang yang tampak beruntung di mataku, sekilas muncul pikiran kenapa aku tidak bisa merasa bahagia seperti mereka.

Kira-kira apa penyebab pastinya, aku bukan ahli di bidang itu, tapi yang bisa aku pastikan media sosial adalah salah satu penyebab utama. Aku bisa yakin karena hampir seluruh hidupku berputar di medsos sebelum aku mencoba untuk berubah seperti saat ini. Sekarang, paling tidak aku bisa bernapas sebentar dari medsos. Meskipun aku masih merasa 'terjebak' di sana, setidaknya itu tidak separah waktu lampau.

Untuk kamu

Tulisan ini rasanya cukup panjang, tapi aku masih bertanya-tanya apa aku sudah menuliskan semua hal yang aku inginkan. Semoga saja, teman-teman yang mungkin merasakan hal yang sama, mendapatkan semangat untuk mencoba satu atau dua hal dari pengalamanku di atas. Semoga kamu juga bisa memetik manfaat yang jika tidak lebih baik, paling tidak sama dengan yang kurasakan.

Jangan sampai medsos mengendalikan pikiranmu sendiri sehingga, amit-amit, menimbulkan rasa tidak berharga dalam diri. Ketahuilah, kita adalah sesama manusia, kita sama-sama akan selalu berbuat salah, kita juga berakal, namun kita punya pendapat yang berbeda, karena pengalaman kita berbeda, kisah hidup kita berbeda, cara dan pertimbangan kita dalam memilih jalan hidup selanjutnya pun berbeda. Kita sama-sama makhluk berharga, selama kita selalu mencoba untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari yang sudah lalu.

Jangan asal mengiyakan tuduhan orang asing atau bahkan otak sendiri yang merendahkan diri kita, karena membangkitkan kepercayaan diri itu susah sekali. Selama aku dan kamu masih hidup, kita masih punya kesempatan untuk berubah jadi lebih baik. Sampai jumpa!


You'll only receive email when they publish something new.

More from Kim Lobak
All posts