Desain Mahal? Tanya Kenapa.


(sumber gambar)

Desain Mahal? Tanya Kenapa.

Penjelasan Sederhana Yang (Semoga) Mudah Dicerna.

TVC KIT KAT "ECI"

Pernahkah anda tahu iklan diatas? Jika belum, monggo saja kalau mau menontonnya terlebih dulu.


Iklan diatas adalah TVC (singkatan dari Television Commercial alias iklan televisi) yang dibuat untuk sebuah ploduk bernama Kit Kat. Sebuah iklan jenaka nir-visualisasi yang saking efisiennya, jika rekaman audio-nya digunakan sebagai iklan radiopun masih sama-sama efektif. Transkripnya kurang lebih seperti berikut ini:

Oom: «Halo…»
Eci: «Tommy ada om?»
Oom: «Siapa ini?»
Eci: «Eci, om…»
Oom: «Edy??»
Eci: «Eeeecii…»
Oom: «Egy?»
Eci: «C! C! Charlie! Charlie!»
Oom: «Ohh… Charlie… Kok suaranya kayak perempuan?»
Eci: «Arrrgggh!!»

«Ada break, ada Kit-Kat»

Jika dihitung, naskah copywriting-nya hanyalah sepanjang sebelas baris. Saya ulangi, cuma sebelas baris. Bandingkan dengan panjang naskah-naskah iklan kampanye nir-esensi di kala menjelang Pemilu. Ehm… maaf, saya sedang melantur.

Baiklah, kembali membahas penggalan kalimat «cuma sebelas baris» yang saya tekankan diatas, berapakah dari kita yang tidak dapat menulis? Jika anda mampu membaca tulisan saya ini, sudah bisa saya simpulkan anda juga mampu menulis. Karena sejak tingkat Sekolah Dasar, mayoritas dari kita sudah diajarkan baca-tulis. Betul tidak…? * aksen Abdullah Gymnastiar *

Lalu, jika kegiatan tulis-menulis sepanjang sebelas baris adalah perkara mudah bagi sebagian besar dari kita, maka berapakah dari kitorang yang mampu menulis naskah sebelas baris sejenaka, semenghibur, se-memorable, seefisien dan seefektif contoh diatas?

Silakan dipikirken jawabannya, waktunya tiga puluh detik, kalau bimbang bisa coba call a friend.

Terus terang, terang terus, saya sendiri sebenarnya tidak tahu jawaban dari million dollar question tersebut. Saya sendiripun tidak yakin saya bisa seperti seorang Wury Handayani, copywriter MACS 909 pemenang kategori Penulisan Naskah Terbaik untuk iklan Kit Kat versi ‹Eci› dalam ajang Anugerah Citra Pariwara 2004, yang tulisan sebelas barisnya cukup berbobot untuk dijadikan sebagai judul skripsi di tahun 2006, yang masih tetap mampu mengundang tawa ketika iklannya diputar satu dekade kemudian.


(sumber gambar)

Oh, wahai Wury Handayani, Bapak kamu… sukak Ki Hajar Dewantara yah? * aksen Entis Sutisna *

(Ampun mbak'e… kula mung guyon mawon)


Setelah ngalor-ngidul dengan anal ogi diatas, saya rasa kini anda sudah dapat mulai paham kenapa sebuah desain bisa menjadi mahal, meskipun jika dilihat (lewat kaca mata orang awam) secara visual tampilannya tidak terlalu istimewa atau sederhana saja.

Dalam ranah desain, penggalan kalimat «cuma sebelas baris» biasa diganti dengan «cuma gini doang,» «cuma lima menit bikinnya,» dan sebagainya. Dan seperti halnya kemampuan menulis, banyak juga orang yang (mengaku) mampu mendesain.

Anekdot jenaka dalam naskah Wury Handayani mungkin tak terkesan istimewa jika kita menilainya sekedar sebagai tulisan sebelas baris, yang tak butuh waktu lama untuk segera menjadi basi ketika digunakan sebagai materi candaan verbal di panggung stand up comedy amatir. Namun ketika lelucon mudah basi ini kemudian dikemas menjadi naskah iklan berisi percakapan dua voice talent dengan artikulasi yang tepat (baca: membuat gemas dan geram) pada klimaks cerita, lalu dipadankan dengan tagline Kit Kat yang mengisyaratkan sang komunikan untuk rehat sejenak agar tidak berlanjut (terbawa suasana) geram dan gemas, sudah bisa dipastikan Kit Kat dan terutama sekali iklan yang satu ini semakin nancep cep cep cep di benak konsumen.

Tagline Kit Kat sendiri sebenarnya merupakan sebuah double entendre yang sempurna, karena kata ‹break› selain berarti rehat juga menggambarkan kebiasaan populer mematahkan batang coklat Kit Kat, yang secara subversif selalu ditanamkan di (akhir) iklan Kit Kat. Makan coklat langsung ditelan utuh sebenarnya bisa saja, tapi karena ini Kit Kat, anda pasti akan lebih G403L jika mematahkannya terlebih dahulu sebelum dimakan. Namun, agar double entendre tadi dapat lebih mengena, harus diawali dengan hal-hal yang dapat menimbulkan alasan untuk ‹break,› sehingga muncullah pola cerita signature iklan Kit Kat yang selalu (mencoba) membuat komunikan merasa geram pada setiap versinya.

Berkat buah pikirannya, apakah seorang Wury Handayani layak mendapat kompensasi berupa ucapan terima kasih? Toh cuma tulisan sebelah baris saja kan? Atau, sedikit naik tingkat, sesuai dengan jumlah huruf dan tanda bacanya seperti biaya saat mengirim telegram? Jika memang demikian adanya realita dalam hidup ini, Wury Handayani pasti lebih memilih untuk memberikan draft naskahnya kepada Tukul Arwana, untuk disobek-sobek, daripada karyanya tidak dihargai.

Saya yakin Kit Kat telah mengalokasikan budget yang cukup layak untuk menyewa MACS 909-agensi iklan tempat Wury Handayani bekerja-hingga mendapatkan solusi yang tepat untuk pemasaran produk mereka di Indonesia waktu itu. Kit Kat most definitely appreciate Wury Handayani's eleven lines copy. Kit Kat understand the value of a good copywriting. Kit Kat is smart, be like Kit Kat.

Dengan nancep cep cep cep-nya brand Kit Kat di benak konsumen berkat keampuhan sihir yang terkandung dalam rangkaian kata-kata Wury Handayani, Kit Kat dapat semakin lebih mudah dalam melancarken strategi pemasaran produknya di tanah air Indonesia. Apabila saja Kit Kat memilih mbikin iklan yang wah bak iklan kampanye, belum tentu sama ceritanya. Coba saja, mana yang anda bakal lebih mudah anda ingat, naskah pendek Wury Handayani atau lirik panjang L·l·ana T·n·es·ed·bjo?

Sama seperti halnya sebuah karya tulis, dalam hal ini naskah iklan, nilai nominal sebuah karya desain sejatinya tidak bisa diukur lewat cepat atau tidaknya proses penciptaan, banyak atau tidaknya jumlah warna, rumit atau tidaknya pola grafis, ngetrend atau tidaknya gaya desain, dan sebagainya. Meski titik sentuh pertamanya adalah lewat pandangan visual, fungsi desain sebenarnya lebih dari sekedar eye candy a.k.a. pemanis pelipur mata, apalagi jika dikaitkan dengan hal lebih tidak kasat mata yang biasa disebut sebagai branding. Hikayat sebuah pabrik di Cianjur yang dapat mengkali lipatkan harga produk akhirnya lewat pencantuman sebuah tanda centang adalah hal lumrah di ranah branding.

Karena desain… adalah… inves… tasi… * aksen Feni Rose *


Untuk membuat tulisan ini semakin panjang dan lama, mari kita ambil contoh sederhana seputar desain logo-jasa desain paling jamak diketahui-seperti sebagai berikut:

Klien pertama, bernama Mak Minah, memiliki usaha warung nasi pecel, harganya ramah sama kantong mahasiswa, kalau beli es teh dapet bonus gula pasir gratis.

Klien kedua, nama dagangnya dirahasiakan, sebut saja McD*nalds, dimana-mana ♫ di atas dunia ♫ banyak cabang ♫ waralabanya ♫, harganya ramah sama kantong mahasiswa pas masih tanggal muda, kalau beli ayam gorengnya dapet bonus kolesterol gratis.

Setelah melalui tahap riset, survei, semedi, puasa sunnah senin-kamis dan pergumulan batin yang cukup sengit, singkat kata, didapatkanlah desain logo berupa dua kurva lengkung bersambung seperti tertampil pada gambar insert.


gambar insert (tak ada hubungannya dengan Feni Rose)

Pada tahap riset dan survei pasar sasaran, didapatkan kesimpulan bahwa warna kuning keemasan adalah warna yang paling cucok untuk merepresentasikan kedua klien. Colonel Evan Snders-bos besar McDnalds-gemar mengkoleksi logam berwarna kuning keemasan di brankas pribadinya. Mak Minah sering melamun menatap benda berwarna kuning keemasan di sungai depan warungnya: pelampung hanyut.

Logo Mak Minah nampang di jendela depan warungnya dengan ukuran yang mencengangkan: satu meter persegi. Logo McDnalds nampang disetiap sudut cabang waralabanya, mulai ukuran micron sampai segede gaban. Logo McDnalds dicetak berulang-ulang secara massal pada tiap kemasan dan materi promosi pendukungnya. Logo Mak Minah dicetak pada banner vinyl barangkali hanya sekali dalam seumur hidupnya. Logo McDnalds melibatkan riset dan survei konsumen di lebih dari satu benua, konsumen Mak Minah tak lebih dari satu kampung. Logo McDnalds dilengkapi dengan GSM (Graphic Standard Manual) setebal kitab suci. Mak Minah berani sumpah pecelnya bebas MSG (Monosodium Glutamate).

Nah, kalau ngomongin harga jasa desain, apakah menurut anda bakal sama untuk kedua klien diatas? Tentu (dan semoga) saja tidak. Nilai yang akan didapatkan oleh McDnalds lewat penggunaan logo diatas secara konsisten memiliki efek yang serupa dengan pemutaran iklan Kit Kat diatas secara konstan, sedangkan needs dan wants Mak Minah hanyalah sebatas simbol penanda untuk mempermudah identifikasi warung nasi pecelnya. McDnalds mendaftarkan hak cipta logonya dan mendapatkan keuntungan dari lisensi jika ada pihak lain yang ingin menampilkan logonya, misalnya untuk adegan dalam film. Mak Minah boro-boro daftar hak cipta, kalau daftar warga miskin sih bisa jadi.

Disparitas harga ini bukanlah bermaksud diskriminatif, namun berdasarkan pada salah satu dari sekian strategi pricing yakni yang biasa disebut sebagai Value Based Pricing. Mengingat saya cuma pernah kuliah jurusan Desain Grafis, jadi kalau pingin tahu lebih jelas mengenai strategi ini silakan hubungi alumni jurusan Manajemen Ekonomi terdekat. Saya hanya sanggup menjelaskan pada level permukaan saja seperti tertera diatas, kalau diminta menjelaskan lebih jauh saya takut salah, dosa, lalu masuk neraka.


Lalu jika pada contoh kasus yang berbeda, kedua klien mendapatkan quote harga yang sama namun salah satu logo lebih sederhana dibanding lainnya. Janganlah buru-buru berburuk sangka, karena sejatinya didalam desain yang sederhana terdapat jiwa yang sehat dan latar belakang yang ‹berat› hasil tahap riset yang kemungkinan besar tidak disadari oleh kalangan awam sang penilai logo. Juga, karena seperti yang Leonardo Da Vinci pernah bilang:

«Simplicity is the ultimate sophistication.»


logo Windows 8 yang didesain oleh Paula Scher / Pentagram

Atau jika pada contoh kasus lain, kedua klien mendapatkan quote harga yang sama, namun salah satu logo dapat di-finalize lebih cepat tanpa adanya banyak revisi akibat ketidak cocokan. Janganlah buru-buru berburuk sangka, karena sejatinya didalam desain yang gampang dan cepet mbikinnya terdapat jiwa yang sehat dan jam terbang yang ‹berat› hasil pendidikan dan pengalaman profesional yang kemungkinan besar tidak disadari oleh kalangan awam sang penilai logo. Juga, karena seperti yang Paula Scher pernah bilang:

«It took me a few seconds to draw it, but it took me 34 years to learn how to draw it in a few seconds.»


Sesampainya di paragraf ini, saya harap sekarang anda sudah dapat paham mengapa dan bagaimana harga jasa desain ada yang murah dan ada yang mahal. Kembali menggunakan konteks iklan, ada yang menawarkan iklan kampanye megah bonus lagu tema nasionalis dengan harga murah, ada yang menawarkan iklan berbasis audio dan teks putih diatas hitam dengan harga mahal. Mana yang akan anda pilih sebaiknya disesuaikan dengan pasar sasaran yang anda tuju.

Sekali lagi, desain sebenarnya adalah investasi. Mungkinkah anda dapat menjual anggun mewah di butik anda, memberikan saran-saran fesyen haute couture, sementara anda sendiri masih tampil dengan mengenakan daster ketika menawarkannya? Mau tak mau anda juga seyogyanya tampil serapi calon konsumen anda bukan? Kemudian anda berinvestasi, mintak tolong kepada bapak tukang jahit untuk dibikinken baju yang lebih layak, seperti misalnya baju safari atau baju koko #eh. Kecuali anda memang berkiprah di belakang layar.

Citra visual itu penting saudara! Cobalah tengok itu para insan penggiat MLM, demi mempermudah menggaet downline, senantiasa tampil rapi jali bukan? Begitulah pula kiranya entitas yang direpresentasikan oleh logo anda, perlu tampil ciamik soro dengan dukungan desain grafis yang tok cer (tentu saja, dengan diimbangi rapor baik di departemen pemasaran, periklanan dan relasi publik). Sebelum anda mudah termakan hasutan khalayak ramai tentang betapa sebuah logo (apalagi logo anda sendiri) tampak tidak istimewa dimata mereka, percayalah dan berpegang teguhlah pada apa yang dibilang Steve Jobs:

«Design is not just what it looks like and feels like. Design is how it works.»

Sebagai penutup, akan saya sampaikan kelanjutan cerita Mak Minah. Sungguh malang nasib Mak Minah, karena logo warung nasi pecelnya dinilai memiliki telalu banyak kesamaan dengan dengan inisial M pada logo McD*nalds, Mak Minah diancam dengan undang-undang terkait pelanggaran hak cipta. Karena tak sanggup membayar denda, Mak Minah terpaksa mengganti logonya. Kini, logo Mak Minah bukan lagi berupa huruf M, tapi huruf W yang dipasang terbalik, warnanya kuning pisang Ambon, sesuai warna buah kesukaan tetangganya.

TAMAT.


Aight, this is the end of the story, fo' real y'all! Shout outs to Kathleen Azali, the most bad ass local designer slash writer slash thinker slash researcher slash polymath I have ever know. This is for the previous article's name dropping jeopardy.


Pertama kali diterbitkan di https://journal.ofisia.name/desain-mahal-tanya-kenapa-1beabac3cdc1